Sebagai perangkat yang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia, teknologi terus berkembang dengan pesat. Salah satunya adalah teknologi digital. Perkembangan teknologi ini terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri 4.0, yang membawa perubahan signifikan pada cara hidup, bekerja, dan berkomunikasi. Tidak heran jika perubahan tersebut memunculkan gaya hidup digital.
Gaya hidup digital merupakan penggunaan teknologi digital untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Melalui perangkat smartphone, hampir semua kebutuhan hidup bisa dipenuhi. Dari makanan, pakaian, groceries, leisure, hingga transportasi. Gaya hidup digital ditunjang dengan berbagai aplikasi yang dapat dibagi menjadi 4 kategori, antara lain E-commerce (Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Lazada, Blibli, JD.id), Digital Payment (OVO, Go-Pay, Dana, Link Aja), Layanan Berlangganan (Netflix, Spotify, Go-Jek, Grab, game online), dan Media Sosial (Facebook, Twitter, Instagram). Dengan gaya hidup digital, kita bisa memenuhi kebutuhan dengan lebih mudah dan praktis.
Meski mudah dan praktis, gaya hidup digital dapat membuat orang kecanduan dengan berbagai perangkat dan hiburan di dalamnya. Tak jarang, kecanduan gaya hidup digital memengaruhi kehidupan sosial maupun ekonomi seseorang. Mengapa bisa demikian? Simak ulasannya!
Lihat juga: “Peluang Ekonomi Kreatif Menghadapi Revolusi Industri 4.0”
Barang yang “Disentuh” di Layar Lebih Menarik
Pola konsumsi menjadi salah satu gaya hidup digital yang paling terlihat. Jika dulu belanja harus datang ke toko, kini belanja bisa dilakukan secara online. Kemudahan yang ditawarkan berbagai aplikasi e-commerce memberikan kenyamanan tersendiri. Tanpa perlu keluar rumah, barang yang kita inginkan lebih mudah didapatkan. Semua bisa dilakukan dengan satu sentuhan.
Sekilas belanja online terkesan lebih hemat karena Anda bisa langsung membeli barang yang dibutuhkan. Ongkos transportasi, parkir, bahkan makan di luar bisa dihemat. Namun, tahukah Anda bahwa belanja online memicu perilaku konsumtif?
Ini disebabkan oleh “sentuhan” yang dirasakan saat men-scroll layar smartphone untuk melihat-lihat barang secara online. Sentuhan tersebut menimbulkan ikatan emosional dengan barang tersebut sehingga terpicu untuk membelinya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Natasha Sharma, psikoterapis dari University of Toronto. Bahkan, kekuatan emosional tersebut dapat menguat karena Anda bisa setiap saat melihat barang tersebut melalui smartphone.
Tidak hanya itu, godaan diskon yang gencar ditawarkan oleh e-commerce juga berpotensi menimbulkan pemborosan. Tak hanya diskon, tapi juga promo, cashback, rewards, hingga buy one-get one, juga memicu pelanggan untuk terus berbelanja. Saat setiap momen tertentu dan hari-hari besar, e-commerce selalu banjir dengan berbagai tawaran tersebut.
Belanja online memang mudah dan nyaman, namun “mengancam” isi dompet Anda. Meski hanya berupa foto, barang pada online shop lebih menggoda untuk dimiliki. Tak seperti barang pada toko konvensional, barang di toko online dapat Anda “kunjungi” setiap saat. Godaan diskon, promo, dan tawaran lainnya juga akan terus “menghantui” layar smartphone Anda. Sanggupkah Anda menahan godaan tersebut?
Lebih lanjut: “Belanja Online Lebih Boros? Kok Bisa?”
Uang Elektronik Memicu Perilaku Impulsif
Setali tiga uang dengan belanja online, sistem pembayaran elektronik menawarkan kenyamanan dan kecepatan transaksi. Jika sebelumnya uang elektronik hanya disediakan oleh bank, kini juga bisa dilakukan melalui perusahaan teknologi finansial (fintech). Bayangkan, tanpa membawa uang tunai, Anda bisa berbelanja hanya dengan gesek kartu, tap, maupun scan.
Transaksi dengan uang elektronik juga terus mengalami peningkatan yang signifikan. Bank Indonesia mencatat, dari nominal sekitar Rp 5,2 triliun di tahun 2015, meningkat hingga Rp 47,19 triliun pada 2018. Peningkatan ini membuktikan bahwa uang elektronik semakin lazim digunakan.
Meski praktis, penggunaan uang elektronik patut diwaspadai. Mengapa? Membayar tanpa uang tunai (cash) terasa tidak mengeluarkan uang sama sekali, sehingga memicu pemborosan. Disadari atau tidak, banyak orang yang merasa ikatan emosional uang tunai lebih kuat daripada uang elektronik. Mereka akan cenderung lebih hati-hati saat akan menggunakan uang tunai. Menurut professor psikologi Widener University, Ross Steimann, belanja dengan uang tunai membuat konsumen selalu teringat bahwa mereka benar-benar sedang mengeluarkan uang.
Keberadaan aplikasi pembayaran fintech semakin meningkatkan minat orang untuk transaksi. Sebagai bagian dari gaya hidup digital, belanja online semakin mudah dengan uang elektronik. Dengan mobile payments, belanja online bisa selesai dalam satu genggaman. Oleh karena itu, tanpa kontrol yang tepat kedua gaya hidup digital ini akan menguras isi dompet Anda.
Hiburan dari Layanan Berlangganan
Teknologi digital tak hanya mengubah pola konsumsi, tapi juga cara menikmati hiburan. Netflix dan Spotify, adalah salah satu contohnya. Keduanya merupakan layanan berlangganan untuk menikmati hiburan, musik dan film. Cukup dengan smartphone, Anda bisa menikmati lagu maupun film kesayangan secara legal.
Layanan nonton film seperti Netflix memberikan tayangan-tayangan yang bisa dipilih sesuai selera dan minat penggunanya. Tidak hanya itu, nontonnya juga bisa dimana saja dan kapan saja. Tidak bergantung pada jadwal seperti pada bioskop. Saat sudah berlangganan dengan Spotify, pengguna bisa memilih berbagai jenis musik sesuai dengan seleranya, tanpa harus membeli CD dan kaset.
Kedua layanan tersebut memang bisa dinikmati secara gratis, namun lebih optimal jika kita menikmati layanan premium dengan membayar sejumlah uang. Meski jumlah uang yang dibayarkan terkesan murah (sekitar Rp 50-100 ribu), namun akan menjadi beban jika harus dibayarkan setiap bulan.
Selain membayar layanan premium, pengguna tetap harus menggunakan kuota internet untuk streaming lagu maupun nonton film. Jika tidak terkontrol, Anda bisa saja kehabisan kuota di tengah atau bahkan akhir bulan. Tentu ongkos berlangganan ditambah pembelian kuota akan menjadi pengeluaran yang bisa mengancam isi dompet Anda.
Tak hanya di bidang hiburan, layanan berlangganan seperti Go-jek dan Grab juga bisa menguras uang Anda. Berawal dari aplikasi ride sharing, kini keduanya menjadi layanan on-demand yang dapat menyediakan berbagai kebutuhan, mulai dari transportasi, pengiriman, jasa antar makanan, perawatan kecantikan, hingga service kendaraan. Mereka juga punya layanan dompet digital sendiri. Tidak heran jika aplikasi on demand dijuluki super apps. Jadi, semua kebutuhan Anda bisa terpenuhi hanya dengan smartphone.
Namun, kemudahannya juga memicu pengguna untuk “malas” bergerak. Misalnya, pesan makanan dengan layanan Go-Food. Pengguna hanya perlu membuka aplikasi, memilih makanan, bayar dengan saldo Go-Pay, dan tunggu makanan datang. Tanpa perlu berjalan keluar kantor, makanan favorit pun dapat dinikmati. Mudah bukan? Tapi sekali lagi, jika dilakukan terus menerus, kebiasaan ini dapat memperburuk keuangan Anda.
Tiada Hari Tanpa Media Sosial
Ada satu lagi, gaya hidup digital yang populer yakni media sosial (medsos) atau social media. Mengapa media sosial juga termasuk gaya hidup digital? Karena keberadaannya telah mengubah cara berkomunikasi banyak orang. Tak jarang konten-konten yang berada di dalamnya juga memberikan hiburan yang menarik. Namun, di balik ramainya medsos, aplikasi ini juga memicu pemborosan. Bagaimana bisa? Bukankah layanan tersebut gratis?
Memang benar bahwa pengguna bisa menikmati layanan secara gratis, namun banyak orang yang kecanduan untuk terus scrolling feed di medsos. Bahkan, tidak sedikit yang sampai lupa waktu. Kebiasaan tersebut dapat menguras kuota internet secara signifikan. Ditambah lagi, makin hari konten video yang berukuran besar makin mendominasi media sosial. Meski bisa menggunakan wifi gratisan, tetap saja perlu beli kuota internet. Karena saat berada di luar ruangan, konten-konten dalam medsos masih dinikmati.
Pemborosan yang diakibatkan oleh medsos tidak hanya berasal dari kuota internet, tapi juga “tekanan” dari teman-teman di jaringan sosial. Penelitian “2019 Modern Wealth” yang dilakukan oleh Schwab menyatakan bahwa generasi milenial berbelanja karena pengaruh medsos. Ini wajar mengingat generasi milenial memang tidak bisa dipisahkan dengan sosmed.
Feed instagram yang ramai dengan foto-foto traveling, tempat-tempat cozy, sampai outfit kekinian tentu menarik untuk diikuti. Inilah yang membuat sosmed menjadi ajang pamer sehingga memicu sindrom FoMO (Fear of Missing Out). Pengguna menjadi enggan ketinggalan tren terkini, sehingga kerap berbelanja di luar kebutuhannya.
Teknologi memang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia, namun saat teknologi mengendalikan hidup kita, kita perlu waspada. Gaya hidup digital memang membawa perubahan signifikan pada cara komunikasi, pola konsumsi, hingga cara kita menikmati hiburan. Namun, kecanduan gaya hidup digital dapat berdampak buruk bagi keuangan Anda. Oleh karena itu, pengendalian diri tetap yang utama.
Anda juga dapat mengakses informasi tentang tips-tips keuangan, gaya hidup, produk keuangan, hingga alternatif investasi di blog.modalku.co.id. Awali kebebasan finansial dengan memperkaya literasi keuangan bersama kami. Ayo jelajahi blog kami!
Artikel blog ini ditulis oleh Modalku, pionir platform pendanaan UMKM di Indonesia dan Asia Tenggara. Kami menyediakan pinjaman modal usaha bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tanah air dan membuka opsi investasi alternatif dengan pengembalian menarik bagi pemberi pinjaman.
Modalku memenangkan Global SME Excellence Award dari ITU Telecom, salah satu badan organisasi PBB, di akhir tahun 2017. Modalku juga memenangkan Micro Enterprise Fintech Innovation Challenge yang diselenggarakan oleh United Nations Capital Development Fund (UNCDF) dan UN Pulse Lab Jakarta di tahun 2018. Visi kami adalah memberdayakan UMKM untuk bersama memajukan ekonomi Indonesia. Lihat statistik perkembangan pesat Modalku di sini.
Tertarik mengenal Modalku lebih baik? Klik di sini.
Modalku secara resmi berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).